Ketika Keadilan Tertahan: Kisah dr Tunggul Sihombing dan Surat Terbuka untuk Mahkamah Agung
JAKARTA – Di balik hiruk-pikuk sistem hukum Indonesia, terselip kisah seorang dokter yang menjadi simbol perjuangan panjang menegakkan kebenaran. Dialah dr Tunggul Parningotan Sihombing, mantan pejabat Kementerian Kesehatan RI, yang namanya kini dikenal bukan karena jasanya menangani wabah, melainkan karena jeratan kasus korupsi proyek vaksin flu burung.
Kisah ini dimulai pada tahun 2008, saat Indonesia menghadapi ancaman serius dari virus flu burung. Pemerintah menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun fasilitas produksi vaksin. Dalam kondisi darurat itu, dr Tunggul dipercaya sebagai Pejabat dan memimpin proyek strategis pengendalian penyakit menular.
Namun, harapan yang menyala itu mulai meredup saat aroma penyimpangan tercium. Nama-nama besar seperti Nazaruddin, pemilik PT Anugerah Nusantara, serta pejabat dari Bio Farma dan Direktorat Jenderal P2PL Depkes RI, disebut-sebut dalam skema pengadaan yang sarat dugaan pelanggaran.
Tender proyek dikabarkan jatuh ke tangan rekanan yang minim kapabilitas, dengan indikasi gratifikasi bernilai miliaran rupiah.
Tahun 2012 menjadi titik balik: dr Tunggul ditetapkan sebagai tersangka, dan pada 2015 divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi, namun tak berhenti di sana.
Mahkamah Agung, melalui majelis yang dipimpin almarhum Dr Artidjo Alkostar, justru memperberat hukuman menjadi 18 tahun penjara, ditambah kewajiban membayar uang pengganti dalam tiga mata uang sekaligus: rupiah, dolar, dan euro.
Satu dekade berlalu, dan di tahun 2025, dr Tunggul angkat suara dalam bentuk surat terbuka kepada Ketua Mahkamah Agung RI. Ia mengungkap kekecewaannya terhadap sistem hukum yang dianggap tidak memeriksa secara substansial dalam proses Peninjauan Kembali (PK).
Dalam surat itu, ia menyuarakan keberanian untuk menggugat moral institusi tertinggi peradilan negeri ini—yang menurutnya abai terhadap amanat UUD 1945 dan peraturan yang berlaku.
Lebih dari sekadar pembelaan diri, surat terbuka itu adalah seruan etis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia menyampaikan bahwa perjuangannya tak lain adalah untuk mendapatkan dukungan publik, mendoakan hadirnya keadilan, dan membangun pembelajaran hukum agar kasus serupa tak terulang.
Kisah ini menjadi refleksi tentang rapuhnya benteng keadilan, dan tentang bagaimana seorang warga negara—berbekal tinta, pengalaman, dan keberanian—berusaha mengetuk pintu hukum yang selama ini tertutup.
Sumber : https://tunggulsihombing.blogspot.com/2025/07/surat-terbuka-kepada-ketua-mahkamah.html
Demi Keadilan dan Kepastian Hukum untuk dr Tunggul Sihombing, Indonesia adalah negara hukum, tempat keadilan seharusnya ditegakkan bukan hanya secara prosedural, tetapi juga dengan menjunjung tinggi nilai moral, integritas, dan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, kami menyampaikan opini publik untuk mendukung pembebasan terhadap vonis pidana yang dijatuhkan kepada dr Tunggul Parningotan Sihombing—tokoh yang telah mengabdikan diri dalam penanggulangan wabah nasional dan kini tengah memperjuangkan kebenaran dari balik jeruji.
dr Tunggul merupakan Pejabat dalam proyek pengadaan fasilitas produksi vaksin flu burung, saat Indonesia berada dalam status darurat kesehatan masyarakat. Ia menjalankan tugas atas nama negara demi perlindungan nyawa rakyat.
Ironisnya, dalam proses hukum yang terjadi kemudian, terungkap dugaan penyimpangan proyek yang melibatkan pihak-pihak lain dengan otoritas anggaran dan penunjukan rekanan.
Namun tanggung jawab pidana justru berfokus pada satu pihak yang menjalankan mandatnya di bawah tekanan darurat.
Harapan, dr Tunggul bukan sekadar seorang terdakwa, tetapi simbol dari warga negara yang percaya pada sistem hukum dan berani menyuarakan kritik dengan cara yang konstitusional.
Jika kita membiarkan keadilan diabaikan demi prosedur semata, maka kita sedang membiarkan ketidakpastian hukum menjadi norma. (***)