Transparansi dalam Proyek Kesehatan : Antara Retorika dan Realita

Jakarta –  Ketika proyek kesehatan berskala nasional melibatkan dana publik bernilai 2,2 triliun rupiah, pertanyaan utama bukan lagi tentang efisiensi, tetapi tentang etika.

Dugaan ketidakwajaran alokasi anggaran oleh Depkes RI, yang melibatkan PT Bio Farma dan beberapa pihak lainnya, bukan hanya masalah administratif—ini adalah isu integritas dan keselamatan publik.

Bacaan Lainnya

Bagaimana mungkin sebuah satuan kerja pelaksana, seperti Ditjen PP dan PL, menerima tanggung jawab atas proyek bernilai Rp200 miliar tanpa pernah mengusulkan, merencanakan, atau mengetahui alokasi tersebut sebelumnya? Lebih ironis lagi, pelaksanaan proyek dimulai saat DIPA diterima di tanggal 5 Desember, dengan tenggat pelaksanaan pada 15 Desember. Sepuluh hari. Benarkah nyawa masyarakat dapat dijaga dalam waktu sepuluh hari kerja?
( Temuan ini bersumber dari blog pribadi dr. Tunggul Sihombing https://tunggulsihombing.wordpress.com yang memuat analisis hukum dan dokumentasi salinan putusan )

Antara Prosedur dan Kenyataan, Jika kita percaya bahwa proyek ini dibangun demi “mencegah kecelakaan dan menyelamatkan nyawa,” sebagaimana nilai-nilai yang dijunjung PT BF, maka proses pengadaan yang minim transparansi dan tak memenuhi kaidah kelayakan teknis adalah pengkhianatan terhadap prinsip itu sendiri.

Sistem kesehatan bukan hanya soal alat dan vaksin. Ia juga tentang kepercayaan. Tentang keyakinan bahwa ketika negara mengurus kesehatan warganya, yang diutamakan adalah keselamatan, bukan target birokrasi.

Ketiadaan Audit, Ketiadaan Jawaban Selama tiga tahun pelaksanaan proyek, tidak ada audit oleh Itjen Depkes RI. Lalu, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab bila ada kesalahan teknis dalam produksi vaksin? Bagaimana jika vaksin tersebut tidak lolos uji kelayakan dan justru mengancam jiwa masyarakat?

Publik berhak tahu. Hasil audit teknis dari BPPT harus dipublikasikan. Kita tidak bisa lagi bergantung pada narasi korporasi tentang “budaya keamanan” jika realitas di lapangan justru menunjukkan ketidaksiapan, minim pengawasan, dan kerentanan terhadap konflik kepentingan.

Bangun Kesehatan dengan Kejujuran, Kesehatan bukan komoditas. Ia adalah hak. Dan hak itu hanya dapat ditegakkan jika transparansi, akuntabilitas, dan etika dijunjung tinggi. Kita tidak bisa lagi hanya percaya pada slogan. Kita harus mulai bertanya, menyelidiki, dan menuntut.

Masyarakat layak menerima pelayanan kesehatan yang tak hanya cepat, tetapi juga aman, teruji, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Jangan Bebankan Semua Kesalahan pada dr. Tunggul Ini Soal Nyawa Bangsa, Jika hukum benar-benar ditegakkan, maka siapa pun yang terbukti bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara adil. Termasuk dr. Tunggul. Namun pertanyaannya: apakah adil jika seluruh beban kesalahan sistemik dalam proyek kesehatan bernilai 2,2 triliun rupiah hanya ditimpakan kepada satu orang?

Ketika Sistem Menyalahi Logika, Logika sederhana saja menolak anggapan bahwa seseorang dapat melaksanakan pengadaan besar hanya dalam waktu 10 hari. Bagaimana mungkin seorang individu mampu merencanakan, menyusun kebutuhan alat, menyiapkan dokumen pengadaan, memastikan kelayakan teknis, dan menjalankan proses distribusi dalam batas waktu yang sempit dan tidak manusiawi?

Jika benar bahwa dr. Tunggul dijadikan pelaksana tanpa adanya perencanaan anggaran, tanpa dukungan sistem, dan tanpa pengawasan yang memadai, maka yang patut dipersoalkan bukan hanya individu, melainkan sistem dan struktur di atasnya. Yang membiarkan proyek berjalan tanpa kontrol, tanpa audit, dan tanpa kepastian keselamatan.

Keadilan Tidak Sekadar Menghukum—Keadilan Harus Menyeluruh, Memaksakan tanggung jawab penuh kepada dr. Tunggul berarti menutup mata terhadap pelanggaran prosedur yang terjadi di lingkup lebih luas: alokasi dana tanpa usulan, DIPA jatuh di akhir tahun, dan minimnya pengawasan oleh instansi terkait.

Keadilan yang sesungguhnya bukan hanya menghukum, tetapi juga melindungi masyarakat dari kerentanan sistemik yang mengancam keselamatan mereka.

Ini Bukan Sekadar Anggaran—Ini Menyangkut Nyawa, Proyek yang melibatkan vaksin dan alat kesehatan tidak boleh dilakukan dengan pendekatan darurat yang tidak sehat.

Kita sedang bicara soal keselamatan jiwa masyarakat Indonesia. Dalam dunia di mana keselamatan adalah standar dan bukan sekadar target birokrasi, maka semua pihak—bukan hanya dr. Tunggul—harus bertanggung jawab.

Seruan Kemanusiaan: Bebaskan dr. Tunggul dari Beban yang Tidak Proporsional, Jika audit teknis BPPT membuktikan bahwa produk yang dihasilkan tidak memenuhi kelayakan, maka pertanggungjawaban harus kolektif.

Namun jika tidak ditemukan bukti kesalahan teknis dari pihak dr. Tunggul dan justru terungkap bahwa beliau ditugaskan di luar kapasitas dan kewenangannya, maka penahanan atau pemidanaan adalah bentuk ketidakadilan yang nyata.

Kita tidak menuntut impunitas. Kita menuntut kejujuran, akuntabilitas, dan tanggung jawab yang adil. Dan yang lebih penting: menuntut perlindungan terhadap masyarakat lewat sistem kesehatan yang transparan dan profesional.

***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *