Membongkar Sisi Lain Proyek Vaksin

“Mengapa Semua Tertuju pada dr. Tunggul? Membongkar Sisi Lain Proyek Vaksin”

Kejanggalan Proyek: Di Mana Letak Konstruksi Logisnya?

Bacaan Lainnya

Jakarta – Proyek Pengadaan Peralatan Pembangunan Fasilitas Produksi, Riset, dan Alih Teknologi Vaksin Flu Burung sejatinya merupakan proyek multi-aktor, multi-tahap, dan multi-penanggung jawab. Namun, keanehan tampak dari awal penyusunan perkara: alur kejadian yang rumit disederhanakan menjadi seolah-olah semua keputusan strategis dan pelanggaran administratif dilakukan hanya oleh satu orang—dr. Tunggul.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin hakim tidak menelaah dan menilai secara cermat logika teknis serta tata urutan kerja proyek pengadaan tersebut?

Perencanaan Adalah Titik Awal, Bukan Tengah. Dalam tata kelola proyek negara, perencanaan bukan sekadar formalitas. Ia adalah akar dari seluruh kegiatan pengadaan. Namun dalam dakwaan dan putusan, perencanaan justru muncul setelah dakwaan “mengarah-arahkan panitia,” seakan sudah terjadi sebelum perencanaan itu sendiri dimulai.

Ini adalah kekeliruan logika yang mendasar. Hakim, sebagai figur utama dalam menilai fakta, seharusnya memahami bahwa tidak mungkin ada proses pelelangan, evaluasi teknis, hingga pembayaran tanpa terlebih dahulu melewati tahapan perencanaan. Dengan kata lain, bila logika itu disusun ulang, maka perencanaan seharusnya menjadi pokok pertama dalam dakwaan, bukan seolah berjalan paralel atau sesudah.

Hakim Tidak Kritikal terhadap Konstruksi Perkara?

Putusan menyatakan bahwa dr. Tunggul “mengijinkan” atau “membiarkan” keikutsertaan pihak eksternal dalam rapat dan proses teknis. Namun tak ada penggalan dalam putusan yang benar-benar menunjukkan bukti bahwa terdakwa secara aktif menyalahi prosedur atau bertindak di luar kewenangannya sebagai PPK. Bahkan, kehadiran pihak ketiga dalam proses teknis sering kali terjadi dalam bentuk konsultasi teknis atau pemberi usulan—yang belum tentu melanggar hukum.
Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan kritis bagi hakim, bukan diterima mentah sebagai kesalahan mutlak. Ketiadaan telaah logika alur proses pengadaan dari sisi teknis dan administrasi ini menimbulkan keraguan akan kedalaman analisis hukum yang diterapkan dalam perkara.

Apakah Perkara Sudah Ditimbang Secara Komprehensif?

Ketika hakim tidak memeriksa secara kritis:
• Siapa menyusun RKS sebenarnya?
• Siapa menyetujui HPS berdasarkan data yang diserahkan?
• Siapa melakukan verifikasi terhadap spesifikasi dan harga?
• Siapa pengendali kontrak dan pengawas pelaksanaan teknis di lapangan?
• Bagaimana tanggung jawab pihak-pihak lain yang ikut hadir dan menyetujui setiap proses?
Maka akan terbentuk vonis yang menyesatkan. Satu orang dinyatakan bersalah untuk sistem yang seharusnya dipikul bersama. Dalam negara hukum, ini bukan sekadar kekeliruan prosedur—tapi juga bentuk pengabaian terhadap asas keadilan substantif.

Kesimpulan Sementara: Keadilan Tidak Boleh Disederhanakan. Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran administrasi atau pidana, tapi menyangkut soal nalar hukum dan integritas logika dalam proses pengadilan. Ketika hakim hanya memotong garis dari titik A ke Z tanpa melihat titik-titik di antaranya, maka kita tidak sedang berbicara tentang hukum, tapi tentang keputusan yang mengorbankan kebenaran.

Dalam peradilan, tugas hakim bukan hanya menghukum—melainkan memastikan kebenaran berdiri di atas dasar yang utuh, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Etika Jurnalistik dan Keadilan Substansial sebagai media independen, kami memegang teguh Kode Etik Jurnalistik, khususnya prinsip:

• Fakta dan verifikasi, dengan merujuk langsung pada dokumen putusan pengadilan;
• Berimbang, dengan membuka ruang bagi klarifikasi pihak-pihak terkait;
• Tidak menghakimi, dengan fokus pada kejanggalan sistemik, bukan pada personalisasi pelaku.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan atau membela secara sepihak. Namun publik berhak tahu bila ada potensi kekeliruan atau kejanggalan dalam proses hukum, apalagi bila menyangkut anggaran negara dan masa depan penegakan hukum yang berintegritas.

Kasus dr. Tunggul, Cermin Sistem yang Perlu Dibenahi.

Kasus dr. Tunggul tidak hanya menggambarkan kompleksitas proyek negara, tapi juga kerentanan sistem hukum pidana terhadap penyederhanaan tanggung jawab kolektif menjadi hukuman personal.

Apakah keadilan sudah ditegakkan?
Ataukah kita sedang menyaksikan potensi kriminalisasi administratif yang dikemas sebagai pidana korupsi?

Jawabannya perlu digali lebih dalam – dengan akal sehat, dengan nurani, dan dengan komitmen bersama terhadap keadilan substantif.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari serial “Menelisik Fakta, Menantang Narasi”, yang akan mengupas lebih lanjut bagaimana proses investigasi, penyidikan, dan penuntutan dalam kasus ini berjalan. Jika Anda memiliki dokumen, pendapat ahli, atau klarifikasi terkait kasus ini, silakan hubungi redaksi.

Sumber: Tim Investigasi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *