Fenomena viral pengibaran bendera One Piece yang semakin marak menjelang HUT RI ke-80 mengungkapkan adanya dinamika baru antara budaya pop dan simbol nasional di Indonesia. Perdebatan muncul terkait bagaimana ekspresi budaya global ini mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap simbol negara, khususnya bendera Merah Putih.
MATA PERISTIWA – Pengibaran bendera One Piece yang viral di media sosial menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-80 menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat Indonesia. Bendera yang merupakan simbol dari kru Topi Jerami dalam anime One Piece ini semakin banyak dikibarkan oleh generasi muda, terutama di kendaraan, rumah, dan berbagai ruang publik.
Namun, fenomena ini menyiratkan lebih dari sekadar ekspresi budaya populer. Fenomena ini juga mencerminkan ketegangan antara budaya global dan simbol negara, khususnya bendera Merah Putih.
Menurut Dr. Rudi Pratama, seorang pakar budaya dan komunikasi, fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya pop berfungsi sebagai bentuk komunikasi simbolik bagi generasi muda.
“Bendera One Piece tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni simbol nasional, tetapi juga mencerminkan kebebasan berekspresi dan solidaritas sosial, terutama dalam konteks ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah,” ujar Dr. Pratama dalam penelitiannya yang dipublikasikan pada Juli 2025.
Pengibaran bendera anime ini, menurutnya, menjadi medium bagi generasi muda untuk mengekspresikan identitas mereka yang lebih cair dan terhubung dengan budaya global.
Namun, munculnya simbol-simbol budaya pop ini membawa tantangan bagi simbol nasional Indonesia. Bendera Merah Putih sebagai simbol negara harus dihormati dan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi daripada bendera lain, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.
Di sisi lain, fenomena pengibaran bendera One Piece berpotensi mengaburkan makna eksklusif dari simbol negara, apalagi jika bendera anime tersebut dipasang sejajar atau bahkan lebih mencolok daripada Merah Putih di ruang publik.
Dr. Ahmad Rifa’i, seorang ahli hukum tata negara, menjelaskan, “Secara hukum, jika bendera fiksi, seperti One Piece, dipasang sejajar atau lebih rendah dari Merah Putih, dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan negara, maka tindakan ini masih berada dalam ‘wilayah abu-abu’. Namun, jika pengibaran tersebut dimaksudkan untuk menghina simbol negara, maka itu akan menjadi masalah hukum,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tidak ada larangan eksplisit, pengibaran bendera selain Merah Putih harus tetap menjaga norma etika nasional.
Fenomena ini juga membuka ruang bagi nasionalisme baru yang lebih cair, di mana generasi muda menggabungkan nilai solidaritas dan kebebasan dari budaya pop dengan nilai-nilai formal kenegaraan. Munculnya bendera One Piece di ruang publik pada perayaan nasional menunjukkan adanya negosiasi makna antara ekspresi budaya global dan penghormatan terhadap simbol nasional.
“Generasi muda Indonesia yang tumbuh dalam era digital dan terhubung dengan budaya global cenderung menciptakan identitas yang lebih fleksibel. Mereka melihat nasionalisme tidak hanya sebagai pengakuan terhadap simbol negara, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas internasional yang lebih inklusif,” kata Dr. Rudi Pratama.
Meski demikian, peran pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol negara sangat penting. Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah terus menghimbau masyarakat untuk menghormati tata cara pengibaran bendera yang benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Sementara itu, edukasi mengenai nilai-nilai lokal dan pentingnya penghormatan terhadap simbol negara sangat dibutuhkan untuk menghindari pergeseran makna dalam budaya simbolik nasional.
Pada akhirnya, fenomena bendera One Piece ini menjadi cerminan dari kompleksitas identitas nasional Indonesia di era digital, di mana batas antara budaya global dan simbol nasional semakin kabur.
Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, harus mampu menyeimbangkan ekspresi budaya pop dengan penghormatan terhadap simbol-simbol negara, agar keduanya bisa berjalan seiring tanpa mengurangi makna dari identitas kebangsaan yang telah terbangun. (*)