“FAKTA PERSIDANGAN YANG MENGGUGAT LOGIKA HUKUM”
Jakarta — Tim Investigasi Mata Peristiwa
Ketika publik mendengar Presiden RI memberikan abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, muncul pertanyaan yang sah untuk diajukan: apakah perlakuan ini diberikan kepada semua warga negara tanpa kecuali, ataukah hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kedekatan politik atau posisi strategis?
Pertanyaan ini menjadi relevan kembali ketika kasus hukum yang menjerat dr. Tunggul P. Sihombing dalam proyek Vaksin Flu Burung kembali menjadi sorotan. Penelusuran dokumen resmi kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) yang telah diverifikasi oleh tim menunjukkan adanya kejanggalan mendasar baik formil maupun materiil yang menuntut penjelasan transparan dari otoritas hukum.
Fakta Persidangan yang Terabaikan
Berdasarkan catatan persidangan dan dokumen resmi yang dikonfirmasi kepada pihak terkait, sejumlah temuan krusial terungkap:
1. Kesalahan Identitas Jabatan
Dakwaan menyebut dr. Tunggul menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK I) pada 2008–2011. Namun, dokumen pengangkatan resmi menunjukkan jabatan tersebut dipegang oleh orang lain.
2. Tidak Menikmati Hasil Dugaan Korupsi
Dalam amar putusan, hakim menyatakan dr. Tunggul tidak menikmati hasil korupsi. Pihak swasta justru menjadi penerima manfaat terbesar. Namun, hingga delapan tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap, tidak ada proses hukum terhadap pihak tersebut.
3. Temuan Audit BPK
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pendekatan pihak swasta kepada pejabat KPA, PPK, dan PT Bio Farma sebelum proses lelang. Temuan ini tercatat di Sekretariat Ditjen terkait bahkan sebelum dr. Tunggul menjabat PPK II. Nama-nama yang disebut tidak dibawa ke meja hijau.
4. Dokumen Penerimaan Barang dan Jasa
Dokumen panitia penerimaan barang dan jasa tahun 2011 tidak memuat nama dr. Tunggul, melainkan ditandatangani oleh PPK lain.
5. Penanggung Jawab Resmi
Sesuai Keppres No. 80/2003, penanggung jawab penuh kegiatan adalah Prof. Dr. TYA. Namun, dalam praktiknya, seluruh beban tanggung jawab administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional dialihkan kepada dr. Tunggul.
Fakta-fakta Dokumen Selengkapnya di https://tunggulsihombing.wordpress.com/
Putusan Tanpa Tanda Tangan
Fakta lain yang telah diverifikasi tim investigasi adalah salinan putusan yang tidak memuat tanda tangan Majelis Hakim maupun Panitera Pengganti. Berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, putusan tanpa tanda tangan adalah cacat formil dan tidak sah.
Kuasa hukum dr. Tunggul menilai ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikasi serius lemahnya integritas proses peradilan. Agus, aktivis Aliansi Pembela Keadilan, menegaskan bahwa kasus seperti ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum jika tidak segera diklarifikasi.
Perspektif Akademisi
Guru Besar Hukum Pidana, Prof. Romli Atmasasmita, mengingatkan bahwa korupsi adalah extraordinary crime yang memerlukan extraordinary enforcement. Namun, ia menekankan bahwa upaya tersebut tetap harus menjunjung asas praduga tak bersalah dan melindungi hak asasi manusia.
“Beban pembuktian boleh diperkuat dengan perangkat hukum yang luar biasa, tetapi jangan sampai mengorbankan keadilan substantif,” ujarnya.
Pertanyaan Terbuka untuk Negara Hukum Demi kepentingan publik dan sesuai prinsip keterbukaan informasi, ada tiga pertanyaan yang patut dijawab otoritas:
• Mengapa pihak yang paling diuntungkan justru tidak tersentuh hukum?
• Mengapa dokumen putusan yang tidak sah secara formil tetap dijadikan dasar eksekusi?
• Apakah standar keadilan di Indonesia benar-benar berlaku sama untuk semua warga negara?
Selama pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab secara tuntas dan dapat diverifikasi, dugaan publik mengenai adanya perlakuan hukum yang tebang pilih akan terus hidup. Dan ketika itu terjadi, kerusakan terhadap kepercayaan publik bisa jauh lebih parah daripada kejahatan yang sedang diadili.
****