Mitigasi Bencana di Jawa Barat yang Bisa Diperkirakan Gagalnya

Bandung – Bencana alam yang berulang di Jawa Barat kerap dipahami sebagai konsekuensi geografis wilayah yang memang rawan. Namun, jika dicermati lebih dalam, banyak peristiwa bencana justru menunjukkan pola yang serupa: kegagalan mitigasi pra-bencana yang sebenarnya dapat diperkirakan sejak jauh hari.

Persoalannya bukan terletak pada ketiadaan kajian kebencanaan. Jawa Barat memiliki beragam dokumen analisis risiko, peta rawan bencana, dan rekomendasi teknis yang disusun oleh lembaga pemerintah maupun akademisi. Masalah muncul ketika kajian tersebut tidak diikuti oleh kebijakan teknis yang operasional dan mengikat.

Dalam praktik kebijakan publik, kajian seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Namun dalam konteks kebencanaan, kajian sering berhenti sebagai dokumen administratif—lengkap di atas kertas, tetapi lemah dalam implementasi. Standar evakuasi berbasis wilayah, pembatasan aktivitas di zona berisiko tinggi, atau penguatan kesiapsiagaan komunitas sering kali tidak muncul sebagai keputusan yang tegas.

Bacaan Lainnya

Kesenjangan ini terlihat jelas pada fase peringatan dini. Informasi cuaca ekstrem dan potensi bencana dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) umumnya disampaikan kepada publik melalui edaran, rilis media, dan kanal komunikasi resmi. Namun, peringatan tersebut jarang diterjemahkan menjadi instruksi teknis evakuasi dini yang jelas dan terukur.

Padahal, esensi peringatan dini bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan memicu tindakan. Siapa yang harus dievakuasi, ke mana, kapan, dan oleh siapa adalah pertanyaan operasional yang menentukan keselamatan. Tanpa kejelasan tersebut, peringatan dini berisiko berhenti sebagai konsumsi informasi publik, bukan sebagai alat penyelamatan nyawa.

Upaya mitigasi juga sering diukur dari banyaknya kegiatan sosialisasi kebencanaan. Program ini penting, tetapi persoalannya terletak pada minimnya evaluasi efektivitas. Jarang dilakukan pengukuran apakah sosialisasi benar-benar mengubah perilaku masyarakat, meningkatkan kecepatan respons, atau memperbaiki pengambilan keputusan saat situasi darurat.

Tanpa evaluasi berbasis data dan pengalaman lapangan, sosialisasi berpotensi menjadi rutinitas tahunan yang tidak berdampak signifikan terhadap kesiapsiagaan nyata.

Masalah berikutnya muncul saat bencana benar-benar terjadi. Dalam berbagai dokumen dan rapat koordinasi, Incident Command System (ICS) selalu menjadi rujukan utama penanganan darurat. Namun, realitas lapangan kerap menunjukkan hal sebaliknya. Tumpang tindih kewenangan, kebingungan komando, dan keterlambatan pengambilan keputusan masih sering terjadi, terutama pada jam-jam awal bencana.

Pengalaman ini diketahui luas oleh relawan dan petugas lapangan. Ironisnya, kondisi tersebut jarang tercermin secara utuh dalam laporan resmi pascabencana. Kekacauan komando tidak terdokumentasi dengan jujur, sehingga kesalahan yang sama berulang tanpa koreksi struktural.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah profesionalisme unsur pelaksana penanggulangan bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 23 menegaskan bahwa unsur pelaksana harus didukung oleh tenaga profesional dan keahlian yang memadai. Tantangan di daerah adalah memastikan bahwa struktur organisasi dan pengambilan keputusan benar-benar ditopang oleh kompetensi teknis kebencanaan, bukan semata pendekatan administratif.

Tanpa penguatan profesionalisme, kebijakan mitigasi akan terus bersifat reaktif—bergerak setelah bencana terjadi, bukan sebelum risiko berubah menjadi korban.

Pola ini pada akhirnya membentuk siklus yang berulang: bencana terjadi, respons dilakukan, laporan disusun, tetapi pembenahan pra-bencana tidak tuntas. Ketika bencana serupa terjadi kembali, sistem kembali gagap, seolah tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya.

Bencana memang tidak dapat dicegah sepenuhnya. Namun besarnya dampak dan jumlah korban sangat ditentukan oleh kualitas mitigasi dan kesiapsiagaan. Ketika kegagalan pra-bencana dapat diperkirakan, maka bencana yang berulang bukan lagi sekadar fenomena alam, melainkan konsekuensi kebijakan.

Selama kesenjangan antara kajian, kebijakan, dan praktik lapangan tidak ditutup, Jawa Barat dan wilayah rawan lainnya akan terus menghadapi pola bencana yang sama, hanya dengan lokasi dan waktu yang berbeda.

#MitigasiBencana
#BPBDJabar
#PenguranganRisikoBencana
#TataRuangJabar
#BencanaAlam
#KeselamatanPublik
#BencanaIndonesia

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *