Anarkis Birokrasi: Saat Diamnya Aparat Hukum Mengubur Keadilan

Anarkis Birokrasi: Saat Diamnya Aparat Hukum Mengubur Keadilan
Surat-surat keluarga dan kuasa hukum dr. Tunggul tak pernah berbalas. Fakta kesalahan formil dan materiil diabaikan. Diamnya birokrat penegak hukum menjadi cermin kekacauan yang dilembagakan.

Pintu keadilan itu seakan terkunci rapat. Di mejanya, tumpukan dokumen resmi surat permintaan klarifikasi, laporan pelanggaran hukum, bukti-bukti otentiktergeletak berbulan-bulan.

Semua ditujukan kepada lembaga penegak hukum, dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Namun jawabannya selalu sama: hening.
Keheningan ini bukan sekadar kebetulan.

Bacaan Lainnya

Ia adalah sinyal keras bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem. Bukan hanya salah prosedur, tetapi salah watak.

Watak birokrasi yang semestinya menjaga hukum, kini justru mempermainkannya. Watak yang membuat pelanggaran HAM dan kriminalisasi bisa terjadi tanpa rasa bersalah.

Jakarta – Surat demi surat telah dilayangkan keluarga dan kuasa hukum dr. Tunggul kepada berbagai lembaga penegak hukum , kementrian , Dewan Perwakilan Rakyat , Komnas HAM bahkan pada Presiden dalam 3 tahun terakhir ini. Surat resmi, berisi bukti-bukti berbagai pelanggaran nyata aspek formil dan materiil pada putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali sebagai benteng terakhir bagi setiap pencari keadilan , dikirim dengan penuh harap akan jawaban.

Namun, semua terdiam. Tidak ada balasan. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada tanda bahwa para birokrat penegak hukum bahkan sekadar telah membaca atau memahami substansinya, tegas kuasa dr. Tunggul.

Dalam perspektif hukum dan etika publik, ini adalah bentuk “anarkis birokrasi” situasi ketika lembaga yang seharusnya menjadi benteng ketertiban justru mengabaikan aturan, menutup mata pada fakta, dan mengabaikan tanggung jawab konstitusionalnya.

Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan ini menohok. Apakah para pejabat itu tidak memahami isi surat? Tidak mengerti hukum? Atau sekadar enggan mengakui kesalahan institusi? Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menggariskan kewajiban media untuk menguji informasi dan memberi ruang bagi pihak terkait memberikan jawaban.

Namun, ketika hak jawab pun tak digunakan, publik berhak menduga bahwa ini adalah penghindaran sistematis.

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, baru-baru ini menuai sorotan positif ketika memberi abolisi dan amnesti bagi figur publik seperti Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong sebuah langkah berani.

Namun, keberanian yang sama kini dituntut untuk menata ulang penegakan hukum di seluruh tingkat peradilan. Koreksi menyeluruh, eksaminasi hakim, dan bahkan penegakan hukum pidana terhadap aparat yang sengaja menyalahgunakan kewenangan harus menjadi agenda nyata.

Etika yang Tergerus, Moral yang Hilang
Dalam literatur akademik, seperti yang ditulis Arie Budiawan, Sahadi, dan Neti Sunarti di Jurnal MODERAT, disorot bahwa problem pokok birokrasi Indonesia meliputi penyalahgunaan wewenang, korupsi, pungli, pelayanan lambat, serta prosedur berbelit.
Adagium sinis “kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah” telah menjadi cermin mentalitas yang merusak fondasi negara hukum.

Masa Depan di Ujung Pisau
Dengan 58,6% suara rakyat memilih pasangan Prabowo-Gibran, mandat publik jelas: negara harus hadir untuk melindungi dan melayani rakyat, bukan mengabaikan mereka.

Tetapi, selama mentalitas birokrasi masih mengedepankan kekuasaan di atas pelayanan, amanat UUD 1945 , Undang-undang dan peraturan yang berlaku hanya akan menjadi teks tanpa nyawa.

Jika anarkis birokrasi dibiarkan, bukan hanya kasus dr. Tunggul yang menjadi korban kepercayaan publik terhadap seluruh sistem hukum akan runtuh. Dan ketika kepercayaan itu hilang, yang tersisa hanyalah kekacauan yang dilembagakan.

Tim investigasi ***

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *