Bintan, Mata-peristiwa.id // Aktivitas tambang pasir ilegal di Bintan, Kepulauan Riau, kembali mencuri perhatian publik, terutama setelah Bupati Bintan secara terbuka mengungkapkan adanya banyak laporan terkait dampak buruk dari tambang-tambang tersebut.
Tidak hanya menghancurkan lingkungan, tambang-tambang liar ini juga memotong pendapatan daerah akibat tidak adanya retribusi yang masuk ke kas pemerintah/Red.
Keberadaan tambang ilegal yang tersebar di wilayah-wilayah strategis seperti Malang Rapat, Teluk Bakau, Galang Batang, Kampung Banjar, Wacopek, dan Batu Dua Puluh dekat Pertamina, seharusnya menjadi prioritas penindakan aparat penegak hukum.
Namun, hingga kini, tindakan tegas dari Polres Bintan tampaknya belum tampak. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa aparat seolah membiarkan aktivitas ini terus berjalan? Apakah ada unsur pembiaran, atau bahkan perlindungan dari pihak-pihak tertentu?
Kecurigaan publik semakin menguat ketika tim TintaJurnalisNews berusaha mengonfirmasi perihal ini kepada Kasi Humas Polres Bintan. Alih-alih memberikan klarifikasi, konfirmasi tersebut justru diteruskan kepada salah satu pengurus tambang ilegal berinisial B.
Tak hanya itu, seorang anak buah B dengan berani mengirimkan kembali pesan tersebut kepada tim TintaJurnalisNews, seolah menegaskan betapa kuatnya jaringan perlindungan yang melindungi aktivitas ilegal ini.
Dugaan adanya koordinasi antara aparat dan pengelola tambang dengan tarif 200 ribu rupiah per lori, hal itu diketahui setelah mendengar cerita dari si B di salah satu kedai di Km 20 depan pertamina, semakin memperburuk citra penegakan hukum di Bintan.
Aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi masyarakat justru dituding tumpul dan tak berdaya di hadapan praktik ilegal yang semakin merajalela.
Kini, publik menanti jawaban dan tindakan tegas. Akankah aparat penegak hukum berani membongkar jaringan yang melindungi tambang-tambang ilegal ini, atau kasus ini akan menjadi potret suram lain dari lemahnya penegakan hukum di negeri ini?
Reporter : Leni H**