Surabaya , mataperistiwa.id – Ada yang menarik, bahkan di luar dugaan terjadi di Gelaran Pameran Seni Rupa Tiga Masa (Ariel Ramadhan, Arik S. Wartono, Saiful Hadjar) di ARTS.ID Arts Space Surabaya yang dibuka oleh Profesor Djuli Djatiprambudi, Minggu (24/8/2025).
Betapa tidak, semua Karya Grafis Saiful Hadjar yang dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa TIGA MASA itu telah laku terjual sebelum pembukaan pameran. Karya Saiful Hadjar yang dikenal dengan julukan Dedengkot Seniman Grafis Fundamentalis Indonesia ini LAKU TERJUAL dibeli oleh kolektor dari Surabaya dan Jakarta, menjelang pembukaan pameran.
“Kalau mau jujur, karya grafis saya laku di luar perasaan dan pikiran. Selama ini saya di kalangan seniman dikenal anti pasar. Sebenarnya tidak demikian, tidak mungkin menolak laku. Mengingat pasar adalah salah satu unsur menghidupkan kesenian semakin semarak dan maju. Jadi membeli karya seniman seni lukis atau seni lainnya adalah bentuk partispasi nyata dunia kesenian semakin hidup. Maka dari itu saya sepantasnya mengucapkan banyak terima kasih pada pembeli karya kami ‘Tiga Masa’,” ucap Saiful Hadjar dengan nada penuh syukur.
Berikut informasi lengkap terkait Pameran Seni Rupa Tiga Masa (Ariel Ramadhan, Arik S. Wartono, Saiful Hadjar)
Penulis:
– Mardi Luhung
– Henri Nurcahyo
– Aji Ramadhan
Di ARTS.ID Arts Space
Jl. Lombok No. 10 Surabaya (daerah Ngagel)
Pembukaan: Minggu, 24 Agustus 2025 pukul. 15.00 WIB
Pameran dibuka oleh Djuli Djatiprambudi
Pameran berlangsung selama dua bulan, mulai 24 Agustus hingga 25 Oktober 2025.
Total menampilkan 16 karya, dan satu arsip seni rupa dengan perincian:
5 lukisan karya Ariel Ramadhan
5 lukisan karya Arik S. Wartono yang 1 diantaranya merespon karya drawing Ariel Ramadhan
6 karya Saiful Hadjar, yakni 2 lukisan merespon karya fotografi Arik S. Wartono, 2 lukisan merespon karya fotografi Ariel Ramadhan, dan 2 karya seri grafis.
Selain 6 karya, Saiful Hadjar juga memamerkan 1 bendel dokument karya-karya grafisnya.
—
Pameran tiga perupa lintas generasi ini pada akhirnya menghadirkan dialektika yang kaya: antara yang muda dan penuh gairah, yang tengah matang dengan pencarian spiritual, serta yang senior dengan kedalaman pengalaman dan keteguhan sikap. Ketiganya menyuarakan warna, bentuk, dan cara pandang yang berbeda, namun justru dari perbedaan itu muncul jalinan dialog yang saling melengkapi. Kita seakan diajak melihat perjalanan seni rupa bukan sebagai garis lurus, melainkan sebagai ruang pertemuan yang terus berkembang, berdenyut, dan saling memantulkan cahaya.
Di tengah hiruk-pikuk dunia seni yang kadang terjebak pada tren sesaat, pameran ini mengingatkan bahwa seni sejatinya adalah pergulatan panjang: antara keindahan dan kritik sosial, antara doa dan keresahan, antara pesona dan peringatan. Dari Ariel, Arik, hingga Saiful, kita belajar bahwa setiap generasi punya cara sendiri untuk bersuara, namun tujuan akhirnya tetap sama: menghidupkan kesadaran dan menjaga kemanusiaan.
Lebih jauh lagi, kehadiran tiga nama ini juga meneguhkan pentingnya kontinuitas. Seni rupa Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari keberlanjutan dialog antargenerasi, dari guru kepada murid, dari senior kepada yunior, dari tradisi kepada eksplorasi baru.
Maka, pameran ini bukan sekadar ajang memajang karya, tetapi juga sebuah penanda estafet, bahwa di tangan generasi muda seperti Ariel, semangat yang dirawat Arik, dan kesetiaan panjang seorang Saiful Hadjar, seni rupa akan terus menemukan jalannya. (Henri Nurcahyo dalam catatan penulis)
—
Profesor Setiawan Sabana (almarhum) adalah seorang profesor seni rupa Indonesia yang sangat dihormati, beliaulah yang menguji gelar doktor (Dr.) dari Djuli Djatiprambudi yang saat ini juga telah menjadi profesor.
Profesor Setiawan Sabana memberi julukan untuk Saiful Hadjar: SENIMAN GRAFIS FUDAMENTALIS
Karena memang selain Saiful Hadjar adalah dedengkot seniman grafis Indonesia yang bahkan masih bertahan sampai hari ini di tengah para seniman grafis yang tumbang satu per satu (karena wafat atau bahkan berhenti berkarya), karya-karya seni grafis Saiful Hadjar yang selalu berisi kritik sosial yang tajam, selama lebih dari 20 tahun (80-an hingga tahun 2000-an) ketika era koran dan majalah masih menjadi sumber utama informasi di samping televisi, karya-karya grafis Saiful Hadjar selalu tampil menjadi ilustrasi atau mendampingi karya puisi, cerpen dan tulisan kolom dari pada seniman dan budayawan ternama Indonesia di berbagai publikasi media: Jawa Pos, Harian Surya, Surabaya Post, TEMPO, KOMPAS, HORIZON, Pikiran Rakyat, dll. (Et)