SERIAL INVESTIGASI EPISODE 3
UU Dilangkahi, Penegakan Korupsi Dipertaruhkan
oleh Tim Investigasi Redaksi
Pendahuluan: Tipikor yang Terpinggirkan
Kasus pidana yang menyeret dr. Tunggul P.S. bukan hanya soal cacat formil dan pengabaian alat bukti. Di balik putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dianggap bermasalah, terdapat satu keganjilan lain yang lebih mengkhawatirkan: pengabaian penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Padahal, perkara yang dihadapi berkaitan langsung dengan penggunaan dana negara, pengadaan barang/jasa, serta dugaan kerugian negara. Namun, dalam putusan akhir, tidak ada satu pun analisis hukum yang merujuk secara eksplisit pada unsur-unsur yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BERITA TERKAIT:
UU Tipikor: Harusnya Jadi Rujukan Utama
Menurut Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, unsur yang harus dipenuhi untuk menetapkan seseorang bersalah meliputi:
- Adanya perbuatan melawan hukum
- Menguntungkan diri sendiri/orang lain
- Merugikan keuangan negara
Namun dari hasil penelusuran redaksi, putusan PK atas nama dr. Tunggul tidak secara rinci menguraikan keterkaitan perbuatan dengan tiga unsur pokok tersebut. Bahkan, pihak penyedia barang/jasa—yang dalam sistem pengadaan menjadi mitra utama negara—tidak disebut atau diperiksa perannya.
“Bagaimana bisa seseorang diputus bersalah atas pengadaan, sementara pihak penyedia jasa sama sekali tidak diperiksa atau disinggung dalam amar putusan? Ini pelanggaran logika hukum,” ujar dr. P. Sihombing, M.H.A.,.
Peran Penyedia yang Terabaikan
Investigasi redaksi menemukan bahwa pengadaan yang menjadi dasar perkara ini dilakukan melalui mekanisme resmi dan didampingi oleh pejabat pengadaan. Pihak penyedia merupakan perusahaan terdaftar, dengan dokumen lengkap dan proses audit yang menyatakan pekerjaan telah selesai sesuai kontrak.
Namun baik dalam proses penyidikan maupun dalam pertimbangan putusan PK, tidak ada satu pun penyelidikan terhadap tanggung jawab atau kontribusi pihak penyedia dalam dugaan kerugian negara.
Ini menunjukkan bahwa hakim mengabaikan elemen penting dari sistem hukum pengadaan, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 dan PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
BERITA TERKAIT:
- Mengurai Kekeliruan Nyata dalam Putusan PK Dr. Tunggul – Wajah Suram Penegakan Hukum
- Dampak Sosial Kesalahan Yudisial: Tragedi Kemanusiaan di Balik Putusan PK Dr. Tunggul
Perspektif Akademik: Tipikor Bukan Sekadar Dugaan
Dr. Sinta Lestari, ahli hukum administrasi negara dari sebuah universitas negeri ternama. Ia menekankan bahwa UU Tipikor tidak bisa diterapkan serampangan.
“UU Tipikor adalah lex specialis. Hakim wajib membuktikan kerugian negara melalui lembaga yang sah seperti BPK atau BPKP. Jika unsur tersebut tidak dijelaskan, maka penjatuhan hukuman rawan melanggar hukum materiel.”
Dr. Sinta juga mempertanyakan absennya pembahasan mengenai audit, nilai kerugian aktual, serta bagaimana tanggung jawab fungsional pejabat pengguna anggaran dibandingkan pelaksana teknis.
BERITA Terkait:
Mengapa Tidak Diperiksa? Motif atau Kelalaian?
Pertanyaan utama yang belum terjawab: Mengapa penerapan UU Tipikor justru tidak dibahas dalam perkara yang mengandung unsur korupsi? Apakah ini bentuk kelalaian atau indikasi motif lain?
Seorang sumber anonim dari lingkungan kejaksaan menyebut bahwa ada kemungkinan perkara ini disidangkan dengan pendekatan formil yang terburu-buru, tanpa verifikasi mendalam atas struktur hukum materil.
“Bisa jadi berkas perkara disusun dengan asumsi pelanggaran administrasi dipidanakan. Ini kekeliruan yang banyak terjadi di kasus pengadaan,” ujar narasumber tersebut.
Penutup: Penegakan yang Dipertaruhkan
Episode ini membuka pertanyaan mendasar tentang integritas sistem peradilan korupsi di Indonesia. Jika UU Tipikor sebagai benteng utama pemberantasan korupsi tidak diterapkan secara konsisten, maka siapa pun bisa terjerat tanpa dasar hukum yang kuat.
Kasus dr. Tunggul memperlihatkan bagaimana pelanggaran atas hukum materiel dapat menjatuhkan seseorang tanpa proses pembuktian utuh, merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Sumber data : https://tunggulsihombing.wordpress.com
BERITA TERKAIT:
Bersambung ke Episode 4
Tim Redaksi Investigasi Hukum
Redaksi membuka ruang klarifikasi bagi Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kemenkum imipas dan pihak-pihak lain yang disebut dalam laporan ini. Segala bentuk hak jawab akan dimuat secara proporsional dan transparan.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari serial “Menelisik Fakta, Menantang Narasi”, yang akan mengupas lebih lanjut bagaimana proses investigasi, penyidikan, dan penuntutan dalam kasus ini berjalan. Jika Anda memiliki dokumen, pendapat ahli, atau klarifikasi terkait kasus ini, silakan hubungi redaksi.
***
BERITA SEBELUMYA EPISODE 2: Ketika Alat Bukti Tak Lagi Bermakna
2 Komentar