SERIAL INVESTIGASI | EPISODE 4B
Menelusuri Jejak Hukum dan Keadilan dalam Kasus dr. Tunggul: Saat Proyek Nasional Dikorbankan?
Jakarta – Proyek Vaksin Flu Nasional yang diinisiasi pada era Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), awalnya digadang sebagai tonggak menuju kemandirian kesehatan Indonesia. Didukung oleh Kementerian Kesehatan (saat itu bernama Depkes), PT Bio Farma, dan kalangan akademisi Universitas Airlangga, proyek ini disebut sebagai langkah preventif menghadapi ancaman pandemi global (News Emerging Deseases).
BERITA TERKAIT:
Namun di tengah pelaksanaan, proyek mendadak terhenti. Sorotan publik beralih kepada dr. Tunggul P. Sihombing, MHA—seorang birokrat pelaksana di Kementerian Kesehatan. Ia menjadi satu-satunya pihak yang dijadikan tersangka, terdakwa, dan akhirnya terpidana dalam kasus ini.
Padahal, secara struktural, proyek dengan anggaran APBN ini berada dalam pengawasan dan tanggung jawab banyak aktor: dari pejabat pembuat komitmen (PA/PB), kuasa pengguna anggaran (KPA), hingga penentu kebijakan di tingkat menteri dan dirjen.
Pertanyaannya: apakah proses hukum yang dijalankan mencerminkan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum? Atau justru menyimpan kejanggalan yang belum terungkap sepenuhnya?
Audit Tak Pernah Datang, Tapi Tersangka Sudah Ditentukan
Dokumen pengadilan dan wawancara dengan tim kuasa hukum dr. Tunggul mengungkapkan fakta-fakta berikut:
- Anggaran proyek bersumber dari APBN dan bahkan melampaui kebutuhan awal.
- Tidak ada audit internal maupun eksternal yang dilakukan selama proyek berlangsung.
- Nama N—mantan bendahara umum partai besar—yang diketahui sebagai pemilik PT AN (penyedia barang dan jasa proyek vaksin), ditangkap oleh KPK dalam perkara lain, lalu kasus vaksin dialihkan ke Bareskrim Polri.
Dalam persidangan, saksi Y menyatakan bahwa penyidikan sengaja dialihkan dari KPK karena dinilai lebih “mudah dikendalikan” oleh oknum penyidik. Anehnya, dr. Tunggul ditetapkan sebagai tersangka sebelum ada pemeriksaan saksi fakta, penyitaan dokumen, atau pendapat ahli dari BPKP, BPPT, maupun BPK.
BERITA TERKAIT:
-
Mengurai Kekeliruan Nyata dalam Putusan PK Dr. Tunggul – Wajah Suram Penegakan Hukum
-
Dampak Sosial Kesalahan Yudisial: Tragedi Kemanusiaan di Balik Putusan PK Dr. Tunggul
Pertanyaan mendasar pun muncul:
Atas dasar apa kerugian negara disimpulkan?
Siapa yang memutuskan bahwa dr. Tunggul adalah aktor utama dalam perkara ini?
Kebijakan Dihukum, Asas Hukum Dilanggar
Menurut asas umum hukum pidana, termasuk pendapat banyak pakar hukum:
- Kebijakan negara tidak dapat dijadikan objek pidana, kecuali jika terbukti ada niat jahat dan kerugian negara nyata.
- Pasal 183 dan 184 KUHAP menyatakan bahwa keyakinan hakim harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah.
Namun, dalam kasus ini:
- Kebijakan struktural seperti penunjukan satuan kerja (satker) dan pelaksana kegiatan dijadikan dasar pemidanaan terhadap dr. Tunggul, meski bukan ia yang menetapkan kebijakan tersebut.
- Tidak ada verifikasi audit resmi sebagai dasar pembuktian kerugian negara.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa tanggung jawab struktural dibalikkan menjadi beban personal, sebuah penyimpangan serius terhadap logika hukum dan keadilan.
Korupsi Mustahil Dilakukan Sendiri: Pasal 55 KUHP Dikesampingkan
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menyatakan bahwa tindak pidana—termasuk korupsi—umumnya melibatkan pelaku langsung dan pihak yang turut serta. Namun:
- Tidak ada satu pun pejabat pembuat komitmen (PA/PB), Pejabat KPA , atau pimpinan proyek lainnya yang ikut dimintai pertanggungjawaban.
- Tanggung jawab seolah diisolasi kepada satu individu: dr. Tunggul.
Pertanyaannya: Mungkinkah proyek bernilai 2,2 triliun dapat dilaksanakan sendiri, tanpa keterlibatan dan restu otoritas di atasnya?
Sumber : https://tunggulsihombing.wordpress.com/09-unsur-kerugian-negara/
BERITA TERKAIT:
Kekeliruan Administratif Dibebankan sebagai Tindak Pidana
Dokumen pengadaan menunjukkan bahwa struktur pelaksana dan alokasi tugas ditetapkan oleh pejabat eselon atas nama Menteri. Penunjukan tersebut:
- Tidak melalui analisis fungsi (tusi) yang sah
- Mengabaikan kompetensi teknis lembaga pelaksana
Secara administratif, ini merupakan tanggung jawab pejabat pengambil kebijakan. Namun dalam praktik hukum, kesalahan administratif itu justru dibebankan kepada pelaksana teknis yang tidak punya kewenangan menetapkan kebijakan, tegas kuasa hukum dr. Tunggul.
KUHAP Dilanggar: Kesembronoan Formil dan Materiil
Pelanggaran terhadap KUHAP dalam kasus ini terlihat pada dua aspek utama , tutur kuasa Hukum dr Tunggul :
1, Aspek Formil (Prosedural) Diabaikan
- Penyidikan dilakukan tanpa alat bukti yang sah dan lengkap.
- Tidak ada pemeriksaan audit, pendapat ahli, atau rekonstruksi kerugian negara.
- Pasal 184 KUHAP yang mengatur lima jenis alat bukti diabaikan oleh penyidik, jaksa, hingga pengadilan.
2, Aspek Materiil (Substansi) Dikesampingkan
Proses kasasi justru menaikkan hukuman, padahal fungsinya hanya untuk menilai penerapan hukum, bukan memperberat vonis.
- Ini bertentangan dengan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa alasan kasasi terbatas pada kesalahan penerapan hukum dan prosedur, bukan substansi pembuktian.
- Lebih jauh, Pasal 263 KUHAP mengatur bahwa Peninjauan Kembali (PK) hanya bisa dilakukan jika ada novum atau kekhilafan nyata—namun, kejanggalan substansial seperti ini tidak pernah dikoreksi dalam proses PK.
Jika Proyek Gagal, Siapa yang Sebenarnya Bertanggung Jawab?
Dalam proyek nasional semacam ini, jika terjadi kegagalan, maka yang semestinya turut diperiksa adalah:
- Pejabat pembuat kebijakan
- Tim teknis dan pengadaan
- Mitra swasta dan vendor
- Auditor internal dan eksternal
- Namun, realitasnya: hanya satu birokrat yang dikorbankan.
Risiko Sistemik: Ketika Hukum Membunuh Inovasi
Jika pola kriminalisasi pelaksana kebijakan seperti ini terus berulang, dampaknya sangat luas:
- Birokrat akan takut mengambil keputusan.
- Visi strategis negara akan dibatalkan oleh ketakutan hukum.
- Inovasi dan kemandirian nasional terancam mati suri.
Presiden SBY sendiri yang memulai dan mengakhiri proyek ini. Jika proyek vaksin tak dihentikan, bisa jadi Indonesia lebih siap menghadapi pandemi Covid-19, bahkan mampu memproduksi vaksin sendiri dan menyelamatkan ratusan ribu jiwa.
BERITA TERKAIT:
Red Flag: Hukum Dipakai untuk Mematikan Visi Negara?
Kasus dr. Tunggul menyentuh tiga pilar penting tata kelola nasional:
- Kredibilitas lembaga hukum
- Keberanian menjalankan visi strategis kesehatan
- Perlindungan terhadap pelaksana yang taat prosedur
Jika proses ini tidak ditangani secara adil dan transparan, maka kita menyaksikan gagalnya negara dalam melindungi pelaksana kebijakannya sendiri.
Catatan Redaksi
Laporan ini disusun dengan merujuk Kode Etik Jurnalistik, dengan komitmen pada:
- Akurasi dan faktualitas
- Keseimbangan dan tidak menghakimi
- Ruang hak jawab bagi semua pihak
- Tujuan publik, transparansi, dan koreksi kebijakan
Redaksi memberikan ruang hak jawab terbuka kepada Kementerian Kesehatan, BPK, BPKP, Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan semua pihak yang disebut, untuk menyampaikan klarifikasi resmi. Hak jawab akan kami tayangkan secara utuh dalam episode berikutnya.
Kesimpulan Sementara
dr. Tunggul P. Sihombing bukan hanya nama dalam dakwaan. Ia adalah simbol konflik antara visi negara dan tarik-menarik kekuasaan. Jika pelaksana kebijakan bisa dihukum tanpa dasar hukum yang sah, maka yang dikalahkan bukan hanya satu orang—tetapi seluruh cita-cita bangsa akan kemandirian nasional.
BERITA SEBELUMNYA | EPISODE 4A: Jejak Visi SBY Soal Pandemi dan Pertaruhan Nasib dr. Tunggul: Di Balik Proyek Vaksin Nasional yang Terhenti


