SERIAL INVESTIGASI EPISODE 2
Ketika Alat Bukti Tak Lagi Bermakna
Oleh Tim Investigasi Redaksi
Pendahuluan: Fondasi yang Diabaikan
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, alat bukti adalah fondasi utama bagi hakim untuk memutus perkara secara objektif dan adil. Namun bagaimana jika fondasi itu justru diabaikan? Dalam kasus dr. Tunggul P.S., sejumlah alat bukti penting yang telah diajukan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi disebut-sebut tidak pernah dipertimbangkan dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Dugaan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah keadilan substantif benar-benar dicapai?
Pasal 183–184 KUHAP: Kekuatan Alat Bukti
Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, seorang terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana apabila hakim memperoleh keyakinan berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Pasal 184 menjabarkan jenis alat bukti sah tersebut, termasuk keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Namun dalam putusan PK terhadap dr. Tunggul, menurut kuasa hukum, tidak terdapat uraian atau penilaian atas alat bukti baru maupun bukti yang sudah pernah disidangkan di tingkat PN dan PT.
“Majelis PK sama sekali tidak menyinggung bukti utama kami, seperti kontrak asli, berita acara serah terima, dan audit internal yang menyatakan tidak ada kerugian negara. Ini fatal,” ujar dr. P. Sihombing, M.H.A., kuasa hukum.
Bukti yang Tidak Dibantah, Tapi Juga Tidak Dinilai
Tim redaksi memperoleh daftar alat bukti yang pernah diajukan dalam persidangan, termasuk:
- Dokumen kontrak resmi antara pihak penyedia dan pengguna jasa
- Surat hasil audit dari Inspektorat Jenderal Kemenkes
- Testimoni saksi ahli pengadaan dan auditor independen
- Bukti transfer pembayaran yang sesuai prosedur
Yang mengejutkan, tidak satu pun bukti tersebut dianalisis secara eksplisit dalam putusan PK. Dalam beberapa halaman putusan, hakim hanya merujuk pada “pertimbangan kasasi” tanpa memperjelas bagaimana bukti-bukti tersebut disikapi.
“Kami merasa putusan ini ditulis seperti formalitas belaka, bukan hasil pertimbangan yang menyeluruh. Padahal alat bukti itu justru menunjukkan tidak adanya niat jahat atau kerugian negara,” tambah Sihombing.
BERITA TERKAIT:
Pakar Hukum: “Alat Bukti Adalah Jantung Peradilan”
Pendapat Dr. Natalia Ginting, S.H., M.H., dosen hukum pidana dan penulis buku “Integritas Alat Bukti dalam Proses Peradilan”. Menurutnya, setiap pengabaian terhadap alat bukti berpotensi membatalkan keabsahan putusan.
“Kalau alat bukti diabaikan, maka keyakinan hakim jadi kosong. Putusan bisa dianggap melawan logika yuridis,” tegas Natalia.
Ia menambahkan bahwa peran PK semestinya bukan hanya mengulang putusan sebelumnya, tapi secara aktif menguji ulang keseluruhan perkara termasuk pembuktian.
Ketimpangan dalam Penilaian Hakim
Investigasi redaksi menunjukkan bahwa terdapat disparitas besar antara pertimbangan di tingkat pertama/kedua dan di tingkat PK. Di tingkat PN dan PT, sejumlah alat bukti disebut sebagai bukti kuat yang menunjukkan tidak adanya pelanggaran hukum pidana. Namun dalam PK, tidak ada diskusi atau pembanding terhadap pertimbangan tersebut.
Ini menimbulkan tanda tanya besar: Apakah hakim PK benar-benar membaca kembali berkas secara menyeluruh, atau hanya mengulang argumentasi kasasi tanpa mengkaji substansi?
BERITA TERKAIT:
Pakar Hukum Kritis, Tapi Tak Cukup: Mafia Peradilan Butuh Langkah Nyata
Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menyoroti maraknya kasus dugaan suap dan praktik mafia peradilan yang melibatkan oknum hakim, pengacara, hingga panitera. Dalam sebuah pernyataan tegas yang disampaikan melalui kanal YouTube pribadinya, Mahfud MD Official, Selasa, 22 April 2025, ia menyebut bahwa kerusakan sistemik telah melanda lembaga peradilan.
“Oleh karena itu, kita sampai pada kesamaan pendapat dengan orang-orang yang selama ini mengatakan ekosistem pengadilan kita rusak. Di mana-mana terjadi korupsi, kolusi, jual-beli perkara, ijon hakim, ijon jaksa, ijon polisi—jorok pengadilan itu,” tegas Mahfud.
Pernyataan Mahfud diamini oleh Guru Besar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Dalam wawancara yang dikutip dari Hallo.id, Yusril menyoroti merosotnya citra Mahkamah Agung (MA) akibat putusan-putusan kontroversial yang dinilai mengabaikan kaidah hukum. Ia bahkan menyebut bahwa kemerosotan ini disebabkan oleh rendahnya integritas moral, bukan hanya di tingkat hakim, tetapi juga para pegawai yang kerap menjadi perantara dalam praktik makelar kasus (markus).
“Kontrol internal Mahkamah Agung harus diperkuat. Tidak boleh ada ruang bagi kompromi moral di lembaga peradilan,” kata Yusril.
Namun, dalam lanskap hukum yang telah terpolarisasi dan terperosok dalam praktik transaksional, pernyataan-pernyataan tegas dari para ahli ini tampak seperti gema di lorong kosong. Kritik dan seruan moral menjadi tak lebih dari pidato yang hilang ditelan rutinitas birokrasi.
Sebab pada kenyataannya, tanpa keberanian dari institusi untuk menindak tegas aktor-aktor utama dalam sindikat peradilan, dan tanpa tekanan politik serta sosial dari masyarakat sipil, seruan pembenahan hanya akan berhenti sebagai suara-suara retoris. Kasus-kasus besar tetap ditutup rapat, pelaku utama tak tersentuh, dan reformasi hanya jadi jargon.
BERITA TERKAIT:
Penutup: Bila Bukti Tak Lagi Jadi Penentu
Episode ini mengungkapkan bahwa proses peradilan bisa kehilangan maknanya jika alat bukti yang sah tidak lagi dijadikan dasar pengambilan keputusan. Dalam kasus dr. Tunggul, keheningan terhadap alat bukti bisa berarti lebih dari kelalaian: ia bisa menjadi bentuk pengabaian sistemik terhadap prinsip keadilan.
Putusan yang mengabaikan bukti adalah putusan yang kehilangan hati nurani hukum.
Bersambung ke Episode 3
Tim Redaksi Investigasi Hukum
Redaksi membuka ruang klarifikasi bagi Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kemenkum imipas dan pihak-pihak lain yang disebut dalam laporan ini. Segala bentuk hak jawab akan dimuat secara proporsional dan transparan
****
BERITA SEBELUMYA EPISODE 1: Vonis yang Tidak Tuntas: Cacat Formil dan Fakta yang Diabaikan
5 Komentar