Penundaan eksekusi delapan tahun, kekeliruan unsur perkara, dan aset menggantung menimbulkan pertanyaan: kelalaian atau pembiaran?
Di sebuah ruang arsip berdebu, berkas perkara setebal hampir sepuluh sentimeter tergeletak di meja. Kertasnya kekuningan, sudutnya terlipat, dan di halaman terakhir—tempat seharusnya tanda tangan hakim dan panitera—hanya ada ruang kosong. Tidak ada paraf, tidak ada cap. Inilah dokumen yang digunakan negara untuk mengeksekusi seorang dokter yang sudah sebelas tahun berada di balik jeruji.
Lebih mengejutkan, eksekusi itu baru dilakukan delapan tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Sementara itu, aset negara dan terdakwa senilai lebih dari Rp1,2 triliun dibiarkan menggantung tanpa administrasi jelas. Pertanyaan pun muncul: ini kelalaian, atau memang sengaja dibiarkan?
Jakarta — Redaksi memperoleh salinan putusan dan dokumen eksekusi perkara dr. Tunggul P. Sihombing yang membuka celah serius dalam praktik peradilan. Sejumlah putusan—termasuk Peninjauan Kembali (PK) yang mestinya menjadi benteng terakhir keadilan—ternyata tidak memuat tanda tangan hakim maupun panitera pengganti.
Padahal, menurut Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 ayat (2) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 200 KUHAP, kelengkapan tanda tangan adalah syarat formil mutlak. Putusan wajib lengkap, benar, adil, profesional, dan tidak tercela.
Fakta lainnya tak kalah janggal: penentuan subjek, waktu, dan tempat kejadian perkara keliru; eksekusi perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) tertunda bertahun-tahun; dan aset bernilai triliunan rupiah tak tersentuh pengelolaan resmi. Dari ruang arsip hingga meja persidangan, jejak administrasi dan substansi hukum dalam kasus ini menyisakan tanda tanya besar—tentang integritas, prosedur, dan rasa keadilan yang mestinya dijamin negara.
BERITA TERKAIT:
- Transparansi dalam Proyek Kesehatan : Antara Retorika dan Realita
- Membongkar Sisi Lain Proyek Vaksin
Temuan Tim Kuasa Hukum dr. Tunggul
1. Putusan tidak ditandatangani hakim dan panitera pengganti.
2. Kesalahan dalam menetapkan subjek hukum, waktu, dan tempat kejadian.
3. Kekeliruan nyata dalam menentukan unsur kerugian negara.
4. dr. Tunggul telah menjalani 11 tahun dari vonis 26 tahun, sementara pihak yang diduga pelaku utama penyalahgunaan wewenang—sebagaimana tercatat dalam putusan—tidak tersentuh hukum.
5. Putusan kasasi justru memperberat hukuman dari 11 menjadi 24 tahun, melampaui kewenangan judex factie.
Laporan yang Berujung Senyap
Selama lima tahun, kuasa hukum dr. Tunggul telah mengirim laporan resmi ke Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM. Hanya Kepala Lapas Cipinang pada 15 Juni 2023 yang menindaklanjuti, itupun berhenti di meja atasannya tanpa respons substantif. Diamnya lembaga penegak hukum ini memunculkan pertanyaan publik: kelalaian administratif atau pembiaran yang disengaja?
BERITA Terkait:
Dampak Nyata
Aset senilai ±Rp1,2 triliun—baik milik negara maupun terdakwa—tidak dikelola jelas selama delapan tahun. Negara berpotensi kehilangan penerimaan bukan pajak (PNBP), sementara hak-hak narapidana seperti remisi terhambat oleh kesalahan administratif yang bukan disebabkan terdakwa.
Rekomendasi untuk Publik dan Lembaga Pengawas
• Audit forensik independen oleh BPK atau lembaga setara untuk memastikan status aset dan potensi kerugian negara.
• Pengawasan administratif putusan oleh MA, termasuk SOP otentikasi jika tanda tangan tidak tercantum, koreksi dokumen, dan sanksi disiplin jika ada kelalaian.
• Evaluasi unsur perkara oleh pengawas peradilan bila terbukti ada kekeliruan subjek, waktu, atau tempat kejadian.
• Perlindungan HAM terdakwa, memastikan hak-hak narapidana tak terganggu akibat penyimpangan prosedur.
BERITA TERKAIT:
- Mengurai Kekeliruan Nyata dalam Putusan PK Dr. Tunggul – Wajah Suram Penegakan Hukum
- Dampak Sosial Kesalahan Yudisial: Tragedi Kemanusiaan di Balik Putusan PK Dr. Tunggul
Pertanyaan Terbuka kepada Pihak Berwenang
1. MA/Kepaniteraan: Mengapa putusan/PK eksekusi tak memuat tanda tangan hakim dan panitera?
2. Kejaksaan: Apa dasar hukum jeda eksekusi 8 tahun sejak putusan inkracht 2017 hingga 6 Agustus 2025?
3. Kemenkes: Siapa penanggung jawab final administratif proyek dan bagaimana laporan aset serta realisasi anggarannya?
4. BPK/Lembaga Audit: Apakah ada audit atas aset proyek senilai ±Rp1,2 triliun? Bagaimana status PNBP terkait?
Mengapa Publik Perlu Tahu
Putusan kasasi dan PK bukan sekadar dokumen teknis; ia adalah instrumen terakhir penegakan keadilan. Jika cacat formil atau keliru materiil, dampaknya tidak hanya pada satu individu, melainkan pada kepastian hukum, integritas keuangan negara, dan kepercayaan publik pada peradilan.
BERITA TERKAIT:
Metodologi
Investigasi ini berdasar pada:
1. Salinan putusan kasasi/PK dan dokumen eksekusi yang diverifikasi.
2. Risalah persidangan dan rujukan hukum (UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, KUHAP).
3. Permintaan konfirmasi resmi ke instansi terkait yang belum dijawab hingga berita ini disusun.